Selasa,30102010
21.19 WIB
10 Akuntan Terlibat Skandal BLBI
ISTILAH akuntan tailor made (pesanan), akuntan stempel, akuntan cap, sudah akrab di telinga masyarakat. Kini Indonesian Corruption Watch (ICW) mencoba membongkar permainan akuntan publik itu. Siapa saja akuntan publik yang berkolusi dengan bank bermasalah? Apa sanksinya?
KREDIT macet, kredit fiktif, penggelembungan angka (mark-up) merupakan borok-borok perbankan di tanah air. Sudah rahasia umum, konglomerasi di Indonesia memiliki bank untuk menghimpun dana dari masyarakat. Dan, biasanya bank itu digunakan sebagai ’sapi perah’ bagi perusahaan dalam grup. Hal itu terjadi karena struktur kepemilikan perusahaan di Indonesia sebagian besar perusahaan keluarga. Berbeda dengan perusahaan di negara maju, misalnya Amerika Serikat. Disana, struktur kepemilikan perusahaan sudah terpisah.
Karena di AS terpisah, maka peran akuntan publik menjadi penting untuk menjadi wasit antara manajemen dengan pemilik atau komisaris pemegang saham. Tapi di Indonesia banyak terjadi penyimpangan.
Sekelumit abstraksi untuk menyegarkan ingatan di awal ambruknya Bank Summa. Bank ini menggunakan jasa akuntan publik Anderson. Akuntan itu memberikan penilaian bahwa laporan itu: wajar dengan pengecualian. Anehnya beberapa bulan kemudian Bank Summa ambruk. “Nah, yang hampir sama terjadi pada 36 bank-bank BBKU (bank beku kegiatan usaha),” ungkap Agam Faturrahman saat ditemui Bangkit di Kantor ICW Jakarta.
Pada saat krisis, banyak bank-bank yang ambruk, padahal laporan keuangannya menunjukkan prestasi bagus dan sehat. Untuk menjelaskan apa penyebabnya, salah satu cara yang digunakan adalah menelaah ulang kertas kerja yang dibuat Kantor Akuntan Publik (KAP) yang dianggap jujur dan menggunakan kaidah-kaidah yang telah baku.
Namun, hasilnya di luar dugaan, ternyata BPKP menemukan kenyataan bahwa auditor tersebut melanggar Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Pelanggarannya, antara lain: KAP tidak melakukan pengujian yang memadai, dokumentasi audit kurang memadai dan tak memahami peraturan perbankan. Karena itu, ICW melalui suratnya bernomor 19/SK/S-BP/ICW/IV/2001, mengirimkan surat kepada Erry Riyana, Ketua Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia.
“Beberapa waktu yang lalu ICW menerima laporan dari masyarakat mengenai hasil peer review BPKP atas 10 KAP yang mengaudit 37 bank bermasalah yang diantaranya merupakan bank penerima BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan dibekukan kegiatannya,” kata Koordinator Badan Pekerja ICW, Teten Masduki. “Dari 10 Kantor akuntan publik hanya satu KAP yang tidak melanggar standar profesional,” timpal Agam.
Menurut Agam, seharusnya akuntan publik itu mendapat sanksi sesuai dengan kode etik akuntan di Indonesia. Namun kenyataanya baik dari Depkeu maupun IAI tidak ada sanksi apapun kepada KAP maupun auditor partner dari KAP.
Karena itu, ICW, mengambil langkah-langkah untuk mengadukan temuan masyarakat ini kepada Majelis Kehormatan IAI, Kamis (19/4), serta mengadukannya ke Mabes Polri, Senin (23/4).
“Terindikasi kuat akuntan publik ini menyembunyikan borok-borok bank. Akibatnya nasabah yang dirugikan oleh bank maupun akuntan publik yang tidak profesional,” tandas Agam (baca box:ICW bicara -red).
Pengamat Perbankan I Nyoman Moena, tidak menyangkal bahwa ada saja peluang akuntan dipengaruhi oleh kepentingan direksi ataupun komisaris dalam menentukan opini akuntannya. “Terpengaruh atau tidak itu berpulang dari kualitas akuntan itu sendiri. Kalau akuntan itu profesional, apapun yang mencoba mempengaruhi dia, dia tidak akan bergeming, akan tetap mengeluarkan opininya sesuai keyakinannya sesuai hasil pemeriksaan,” kata Moena.
Mengomentari langkah ICW yang mengadukan ke Mabes Polri, menurutnya Moena langkah itu tidak tepat, karena akuntan itu adalah suatu profesi. Jikalau ditemukan atau diperkirakan terjadi penyimpangan profesional, maka pertama-tama yang berhak untuk mengadakan penilaian itu adalah dewan kehormatan profesi, dalam hal ini Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). “Untuk pekerjaan-pekerjaan profesi ada aturan mainnya. Kalau memang ada pidana, akan diselesaikan oleh jalur hukum,” tandas mantan Direktur BI ini.
KOMENTAR
Seperti yang sudah dijelaskan dalam kasus tersebut bahwa akuntan di Indonesia banyak yang melanggar Standar Profesional Akuntan Publik. Namun pada kenyataannya, sama sekali tidak ada sanksi bagi KAP yang melanggar kode etik akuntan. Ini juga dikarenakan oleh belum adanya aturan hukum yang menyangkut kode etik akuntan di Indonesia.
Jika akuntan tersebut memang dididik sebagai seorang professional, maka akuntan tersebut seharusnya tidak terpengaruh dengan bujukan agar menyembunyikan keburukan-keburukan bank yang ia audit. Hal ini mengakibatkanpara stakeholder menjadi tidak percaya atas opini yang dikeluarkan atas hasil audit pada perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Maka dari itu, para akuntan seharusnya memahami betul apa arti menjadi seorang professional beserta etika yang harus mereka patuhi agar kredibilitas akuntan-akuntan di Indonesia tidak tercoreng lebih jauh lagi.